Indonesia's Political Party Ranking (Peringkat Parpol Versi
UNSTOP Indonesia)
Pemilu Legislatif baru saja
berakhir, namun persoalan-persoalan mulai timbul satu-persatu mulai dari pemilihan
ulang di berbagai daerah sampai kepada proses perhitungan suara yang bahkan
beberapa di antaranya menimbulkan kericuhan dan keresahan nasional.
Kenapa negara ini selalu saja
dirundung berbagai kerusuhan dan pertentangan yang seperti tiada habisnya,
bahkan banyak di antaranya hanya dipicu oleh hal sepele? Sebegitu rapuhnya kah
jati diri bangsa ini, atau mungkin bangsa ini sudah mulai kehilangan jati
dirinya? Di manakah bangsa yang dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah,
gotong-royong dan berbagai predikat luhur? Mungkinkah penyebabnya adalah adanya
generation lack atau kesenjangan generasi dari Orde Lama ke Orde Baru dan
mungkin ke era-era selanjutnya? Dari banyaknya pembantaian dan pembungkaman
yang terjadi di dua orde awal berdirinya bangsa ini sangat masuk akal bila kita
menganggap bahwa telah terjadi kejutan psikis (mental shock) akibat lompatan sejarah di hampir semua bidang
kehidupan bangsa ini, yang tidak siap dihadapi oleh generasi tersisa di dua
rezim awal tersebut dan berlanjut sampai sekarang.
Kita ambil saja contoh dalam
bidang perpolitikan di tanah air. Akibat belum matangnya mental dan moral para
pejabat di negeri ini, maka sistem yang terbangun jauh dari sempurna, belum
lagi pelaksanaannya. Sistem di negara yang sudah merdeka jauh lebih lama dari
kita saja masih bisa mengalami gejolak-gejolak di masyarakatnya dalam
penerapannya. Bisa diibaratkan kereta api yang berjalan di atas rel yang jalurnya
masih menjadi pertentangan berbagai kepentingan dan masih bisa dibelokkan ke
sana kemari, belum lagi ditambah longsor dan sebagainya. Tentu saja sangat
membahayakan para penumpang di dalamnya yang sudah mempercayakan perjalanannya kepada
masinis serta para pembangun infrastrukturnya. Berbagai Lembaga Legislatif,
Eksekutif dan Yudikatif seperti DPR, MA, Kementerian dan lain-lain yang sudah
melalui berbagai era pergantian pemerintahan saja masih sering kelihatan tidak
matang dalam menjalankan tugas dan fungsinya, apalagi KPU, Bawaslu dan berbagai
badan bentukan lainnya yang usianya jauh lebih muda.
Untuk membuktikannya kami mencoba
melayangkan email ke kedua belas partai nasional peserta pemilu. Kami
menanyakan pertanyaan yang sama yaitu apa yang membuat kami harus memilih
partai mereka. kami bahkan mengirimkan email ke KPU sebagai penyelenggara
pemilu, yang seharusnya paling antusias dalam melayani pertanyaan dari
masyarakat berkenaan dengan pemilu dan sudah mengeluarkan dana sangat besar untuk
mensosialisasikan pemilu kali ini. Ternyata dari 12 parpol hanya 2 yang
membalas email kami. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan kami dan mungkin
jutaan orang lainnya yang melakukan percobaan komunikasi yang sama namun tidak
ditanggapi sama sekali, sedangkan di pihak lain KPU dan semua parpol nasional
melakukan promosi besar-besaran di media massa, yang hampir semua mengangkat
tema perubahan, kerakyatan, dan berbagai tema populer lainnya? Bagaimana mereka
bisa melakukan semua hal besar seperti yang digembar-gemborkan bila untuk hal
kecil seperti merespon pada calon pemilihnya saja enggan? Itu baru menyangkut
pertanyaan prospektus, bagaimana kalau kami minta bantuan penyelesaian masalah atau
menyampaikan keluhan? Pasti lebih tidak digubris lagi.
Kalau mereka saja sekarang sudah
pusing dengan adanya kecurangan perhitungan suara, pemilihan ulang, kisruh
internal partai dan sebagainya, bagaimana bila ditambah dengan adanya tuntutan
dari masyarakat ke PTUN atau lembaga lainnya karena merasa diabaikan haknya
untuk dilayani, sebagaimana yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik?
Hampir semua pihak mulai dari
pejabat sampai dengan para pengamat juga menyarankan agar jangan golput, namun
bila dicermati lebih lanjut golput bila terjadi secara berkesinambungan dan
masif juga bisa memaksa pengambil kebijakan di negeri ini mulai dari lembaga
legislatif, eksekutif sampai yudikatif sadar bahwa yang diinginkan rakyat
adalah perubahan moral dan tindakan yang nyata, bukan sekedar wacana perubahan
atau tawaran program-program spekulatif dalam masa kampanye. Spekulatif karena
kebanyakan dari para caleg (ataupun caek - calon anggola eksekutif dan cayud -
calon anggota yudikatif dalam masa fit
and proper test) belum merasakan bagaimana rasanya berada di pihak
pengambil kebijakan. Bisa saja golput merupakan penerapan reward and punishment yang revolusioner agar semua kalangan elite
di negeri ini back to basic, kembali
ke awal masa perpolitikan mulai tumbuh di negeri ini, yang didasari keinginan
yang luhur dan lebih besar yaitu keinginan bangsa untuk duduk sejajar dengan
bangsa lain di dunia, bukan hanya keinginan segelintir orang demi kepentingan
pribadi atau partainya namun mengatasnamakan keinginan rakyat. Tentu saja kita
tidak menginginkan agar perubahan bangsa ini ke arah yang lebih baik harus dengan
cara golput massal/berjamaah, namun tetap perlu diwaspadai karena hal tersebut
seperti bom waktu yang siap meledak bila saatnya tiba atau tidak dijinakkan
sebelum waktunya. Negara ini sering terlambat dalam mengantisipasi kejadian
kecil apalagi untuk pencegahannya, sampai kemudian terjadi korban baru seperti
kebakaran jenggot dan sering kali saling melempar kesalahan dan tanggung-jawab.
Sadarlah wahai para pelayan bangsa, kami sudah sangat muak dengan sandiwara-sandiwara
politikmu. Keluarlah kalian semua dari zona nyaman (comfort zone) kalau tidak mau terkena kutukan sejarah.
Kembali ke percobaan komunikasi dan
survei sederhana media sosial yang kami lakukan ke kedua belas partai nasional
peserta pemilu seperti bisa dilihat di tabel terlampir. Beberapa fakta menarik
yang kami temukan antara lain sebagai berikut :
- Partai yang memiliki Follower
Twitter terbanyak adalah Gerindra
- Partai yang memiliki Follower
Twitter paling sedikit adalah PKPI
- Pimpinan Parpol yang memiliki Follower
Twitter terbanyak adalah SBY (Demokrat)
- Pimpinan Parpol yang memiliki Follower
Twitter paling sedikit adalah Surya Paloh (Nasdem)
- Partai yang Facebook Like nya terbanyak
adalah Gerindra
- Partai yang Facebook Like nya paling
sedikit adalah PKPI
- Pimpinan Parpol yang Facebook Like
nya terbanyak adalah ARB (Golkar)
- Pimpinan Parpol yang Facebook Like
nya paling sedikit adalah Surya Paloh (Nasdem).
Jadi walaupun ARB diragukan
elektabilitasnya sebagai capres, setidaknya popularitasnya di dunia maya masih
di atas Surya Paloh. Fakta menarik lainnya adalah semua partai maupun pimpinan
partai facebook llike nya sesudah pemilu
mengalami peningkatan dengan rata-rata lebih dari 8%, kecuali Sutiyoso (PKPI)
yang malah turun sebesar hampir 1%. Fakta unik lainnya adalah beberapa follower twitter pimpinan partai jumlahnya
malah melebihi jumlah follower twitter
partainya sendiri, yang menunjukkan figur yang bersangkutan memang populer di
kalangan partainya, bahkan mungkin menjadi tiang/jiwa dari partainya. Pimpinan
tersebut adalah Susilo Bambang Yudhoyono (Demokrat), Prabowo Subianto
(Gerindra), Aburizal Bakrie (Golkar) dan yang terakhir adalah Sutiyoso (PKPI).
Sedangkan facebook like pimpinan partai
yang jumlahnya melebihi jumlah facebook like
partainya sendiri hanya Aburizal Bakrie (Golkar), Sutiyoso (PKPI) dan Surya
Paloh (Nasdem). Jadi kalau dihubungkan antara Facebook dan Twitter, hanya Aburizal
Bakrie dan Sutiyoso yang kepopuleran figurnya secara mutlak melebihi
kepopuleran partainya di dunia maya.
- Hanya Golkar dan Gerindra yang
membalas email prospektus, dan kebetulan menduduki peringkat kedua dan ketiga
di quick count. Kemana dikau wahai PDIP yang mengaku sebagai partai wong cilik,
ketika rakyat benar-benar memanggilmu?
- Dari semua website milik partai
nasional, hanya website milik Nasdem, Hanura dan PPP yang memiliki feature web contact, di mana kita bisa
mengirimkan pesan langsung di website tersebut sebagai alternatif email.
- Ada beberapa website yang tidak
berfungsi sama sekali atau sepenuhnya seperti Tautan (link) Facebook dan Twitter milik Nasdem. Website PDIP (www.pdiperjuangan.or.id),
PAN (http://pan.or.id, http://www.amanatnasional.com) dan PKPI (www.pkp-garuda.or.id,
www.pkpindonesia.or.id) pun sama, begitu juga dengan Email milik PKS (setjen.dpp@pks.or.id).
Kami juga membandingkan hasil quick count beberapa lembaga survei (LSI,
KOMPAS, dan Indikator Politik Indonesia), di mana ternyata bila diambil
rata-ratanya, PKB menduduki peringkat ke-4 dengan perolehan suara sekitar 5% di
atas Demokrat yang oleh kebanyakan lembaga survei menempatkan posisinya di atas
PKB.
Akhirnya kami coba memeringkat
parpol berdasarkan kombinasi Hasil Quick Count, Popularitas Media Sosial, dan
Respon Publik dengan hasil GERINDRA, GOLKAR, DEMOKRAT, PDIP masing-masing
menduduki peringkat 1-4, PBB, PKB, PPP bersama-sama menduduki peringkat 5, PAN
dan PKS berbagi di peringkat 6, sedangkan HANURA, NASDEM, PKPI sebagai juru
kunci di peringkat 7-9. Fakta mencengangkan lainnya adalah bahwa peringkat parpol
versi unik yang kami buat hasilnya hampir sama dengan peringkat hasil quick
count, terutama untuk peringkat 3 teratas (Gerindra, PDIP, Golkar) dan 2
terbawah (PBB, PKPI). Apakah hasil real
count nanti akan menunjukkan hal yang sama? Kita tunggu saja bersama.
Babak selanjutnya setelah Pemilu
adalah terbentuknya koalisi antar partai. Beberapa pengamat mengatakan bahwa
inti dari koalisi adalah bagi-bagi jatah menteri, namun menurut kami rules of the game sudah sedikit berubah
sesuai dengan dinamika perpolitikan. Sebelumnya minat pemasangan
menteri-menteri dari parpol di kabinet antara lain adalah untuk menggenjot
pemasukan bagi parpol bersangkutan dari proyek-proyek di kementerian tersebut,
juga penggelontoran bansos yang bisa menanamkan persepsi positif di masyarakat
sebagai benih yang akan dipanen dalam masa kampanye, dan sebagainya. Namun
perkembangan terakhir menunjukkan makin disorotnya proyek-proyek siluman dan
penggelontoran dana bansos yang tidak pada tempatnya sehingga sedikit merubah
aturan permainannya.
Mungkin salah satu kata kunci
untuk bisa benar-benar membawa negeri ini ke arah yang lebih baik secara nyata
dan mencolok adalah PROFESIOINALISME. Dengan profesionalisme akan ada tolak
ukur yang nyata yang akan mengesampingkan semua hal abu-abu seperti moral,
etika, kepentingan pribadi/golongan, dan sebagainya yang susah dikonfrontir
titk temunya. Profesionalisme bisa diwujudkan dalam bentuk code of conduct yang jelas oleh para elite politik di negeri ini
agar setiap ucapan dan tingkah-laku mereka bisa dinilai secara nyata oleh
masyarakat setiap waktu. Dalam perusahaan code
of conduct ini bisa menganut sistem ISO, Kaizen, dan sebagainya. Kita tentu
sadar bahwa setiap organisasi, baik partai ataupun negara sekalipun bisa
diibaratkan sebagai sebuah perusahaan yang harus dikelola secara benar (Total Management) oleh para profesional
agar bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh para pendiri dan/atau
pemilik perusahaan. Jadi Negara/Parpol bisa diartikan sebagai Perusahaan,
Pendiri/Pemiliknya adalah para Bapak Bangsa/Sesepuh dan/atau Rakyat/Anggotanya,
profesional adalah para Elite Pejabat/Parpol, dan Code of Conduct nya adalah GBHN (yang sekarang menjadi wacana untuk
dihidupkan kembali) yang merupakan turunan dari nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam jiwa Pancasila dan UUD 45. Bisa saja cara pembangkitan kembali
(resurrection) GBHN adalah melalui
strategi re-branding, yaitu membangun kembali citranya dengan
amandemen dan nama baru yang lebih up-to-date
dan catchy, misalnya saja ISO 3000 : Indonesia Service Optimum 3000, yang
merupakan tujuan (goal) sekaligus
panduan (guidance) dalam satu paket
dengan fokus pada Service/Pelayanan
(baca : Implementation/Pelaksanaan
kebijakan negara), karena hanya dengan pelayanan yang optimumlah yang akan
membuahkan hasil yang memuaskan pula. Dengan mental "Pelayan"
diharapkan tidak ada lagi arogansi pejabat dalam pelaksanaan tugasnya termasuk
dalam menghadapi amarah rakyat (juga sebagai antisipatif) sehingga energi dan
aset/anggaran bangsa ini tidak lagi terserap habis untuk hal-hal yang tidak
perlu terjadi yang merugikan semua pihak namun sebaliknya bisa secara
bersama-sama berkepala dingin dan menghilangkan rasa saling curiga untuk melakukan
semua aktivitas masing-masing sesuai ruang lingkup dan tingkatannya menuju
perubahan yang nyata dan drastis. Merdeka!
Tabel dan grafik lainnya yang
lebih lengkap dan mendetil serta artikel lainnya bisa dilihat di http://unstopindonesia.wordpress.com
atau http://parpol-unstop.blogspot.com